Bali Trip 2018 – Pantai Pandawa, Uluwatu, Jimbaran

IMG_6946

Mainstream is perhaps the correct words for my choice of holiday. Setidaknya ada dua orang yang bilang “Ngapain sih ke Bali?” dengan segala macam alasan yang menurut mereka membuat Bali tidak lagi menarik untuk dikunjungi. Well, they were wrong. At least that’s what I thought. Gue kembali ke Bali karena hendak memenuhi janji ke 24-years-old-me yang dulu pernah berkunjung karena ngejar Dani Pedrosa. Masih banyak tempat di Bali yang ingin gue kunjungi. Apalagi banyak tempat-tempat baru yang ditemukan dan dibuka untuk pariwisata. So here goes day 1.

Di perjalanan kali ini gue ngajak Asa, best friend merangkap teman kantor. Kebetulan Asa belum pernah ke Bali dan pengen tahu kenapa tempat wisata yang satu ini selalu laris dikunjungi turis lokal maupun mancanegara dari tahun ke tahun. Kami sengaja memilih penerbangan pagi agar sampai sebelum tengah hari dan masih bisa jalan-jalan setelah cek-in di hotel.

20180310_132613-ANIMATION.gif

Y’all familiar with that face, alright?

Cari transportasi dari Bandara Ngurah Rai itu susah-susah gampang deh. Susahnya sih mikirin cara berkelit dari supir-supir taksi yang pada giat nawarin jasanya. Padahal ya mahal aja dong. Masa iya tarif dari bandara ke daerah Legian yang super deket dipatok Rp100.000,-? Mending duitnya buat jajan. Gampangnya itu di Bali udah banyak jasa transportasi online, jadi bisa pake Grab, Go-Car, atau Uber yang tarifnya jauh lebih murah. Meski mesti sampe keluar bandara untuk bisa naik mobilnya, seenggaknya kantong enggak jebol duluan.

 

Kami menginap di Sandat Hotel Legian, tempat yang kalo malem ramenya luar biasa (I’ll tell you later in this post). Karena kami udah request untuk early check-in, jadi jam 11.30 kami sudah bisa masuk kamar dan beres-beres untuk kemudian keluar lagi. Pihak hotel juga bantu kami untuk menyewakan motor dengan tarif Rp80.000,- per hari. Kami sih nawar karena akan sewa untuk tiga hari ke depan dan dapat diskon Rp5.000,- perhari. Lumayan sisa Rp15.000,- buat jajan kelapa muda.

Agenda kami hari ini menelusuri jalur selatan Bali dengan kunjungan pertama ke Garuda Wisnu Kencana (GWK), Pantai Pandawa, Uluwatu, dan Jimbaran. Namun ketika sampai GWK kami langsung mundur karena tiketnya mahal banget (70ribu sekali masuk). Untuk kami yang hanya niat foto-foto di dalam tanpa mengunjungi beberapa pertunjukan yang tersedia sih ya kemahalan. Akhirnya kami mundur dan hanya berfoto di tempat parkirnya dengan background tebing-tebing yang sudah di pahat.

Hari sudah mulai sore, kami lanjut ke destinasi ke dua di Pantai Pandawa. Bermodalkan referensi foto teman-teman di Instagram dan GPS, kami akhirnya sampai dan disambut oleh gerbang masuk untuk bayar retribusi. Masing-masing dari kami di-charge 8ribu sementara Rp3.000,- untuk parkir motor. Begitu masuk, pemandangan biru laut dan langit membaur terlihat dari atas tebing yang dipakai jalan. Dari gerbang masuk itu jalanan terus menurun dengan agak curam menuju ke pantai. Asa yang takut ketinggian langsung digantikan gue untuk membawa motor ke bibir pantai.

Sampai di salah satu pantainya, kami langsung mendekat ke garis batas dan duduk bersantai di pasir. Banyak yang sedang berenang dan main air karena ombaknya di sana cukup tenang, banyak juga yang hanya bersantai, berfoto, atau berjemur. Air lautnya masih terlihat biru dengan gradasi muda dan tua bahkan dari garis pantai. Unlimited gorgeousness! Sayangnya kami nggak bawa baju renang, padahal kami nggak keberatan untuk mandi di sana. Gue sih tetep main air.

This slideshow requires JavaScript.

Pasir di Pantai Pandawa ini beda dari pasir-pasir pantai yang pernah gue kunjungi. Jika di pantai lain pasirnya lembut dengan campuran pecahan karang, di sini pasirnya berbentuk cukup besar (untuk ukuran pasir) dan bulat sempurna. I was fascinated by it. Later on the same week, I know that people have found a name for them, Pasir Merica.

Selain pantai, tempat ini di sekelilingnya terdapat bukit-bukit kecil yang membatasinya. Bahkan satu bukit khusus dikeruk dan dibuka demi membangun akses jalan ke pantainya. Kerukan bukit tersebut dibentuk menjadi berbagai macam ornamen yang menambah keindahan dan keunikan pantai. Di bagian paling atas terdapat huruf kapital berukuran besar dengan nama tempatnya disertai lambang NKRI, Garuda Indonesia. Sayangnya di sana kami nggak bisa berlama-lama karena waktu kami terbatas. Maka setelah makan siang, kami meluncur ke destinasi ke dua hari itu.

Menempuh sekitar 45 menit perjalanan, kami sampai di Uluwatu. Berkunjung lagi ke sini membuat gue mengenang masa-masa kunjungan gue yang lalu. Uluwatu ini selain terkenal oleh kuil di ujung tebingnya, juga terkenal akan pertunjukan Tari Kecaknya. Kami yang sengaja datang sore untuk hal tersebut melihat bertapa ramainya orang-orang yang berkunjung. Harga masuk ke kawasan kuilnya masih 20ribu (padahal di loket tulisannya 30ribu), sementara untuk tiket pertunjukan tari kecaknya 100ribu. Mahal. I know. Tapi setidaknya untuk sekali seumur hidup nggak apa-apa lah.

IMG_6973

Agak kocak sih ketika beli tiket. Di tempat penjualannya banyak kertas berserakan sebagai pedoman cerita dari pertunjukan yang (menurut gue) disajikan dengan berbagai bahasa. Gue sebenernya udah pesen pakai Bahasa Indonesia, lalu Asa nyahut dengan Bahasa Inggris pas akan bayar. Jadi weh kami dapat kertas bertulisakan Bahasa Inggris. Not that we complained, tapi mengingat cerita-cerita diskriminasi pegawai lokal terhadap turis lokal di Bali mungkin dengan Asa ngomong B.Inggris kami dikira dari Malaysia.

Hari Sabtu itu wisatawan yang menonton luar biasa ramai sampai-sampai banyak penonton duduk di arena yang dipakai untuk pertunjukannya, termasuk kami diantaranya karena kami telat masuk. Sebelum pertunjukan di mulai, seorang lelaki yang duduk di samping gue menyapa dan kami berkenalan. Due to my terrible ability in remembering names, I of course forgot who he was, tapi gue ingat detil yang lain. Dia bekerja di Surabaya dan ke Bali bersama rekan-rekan kantornya untuk company retreat danĀ akan kembali pulang malam keesokan harinya. Gue sendiri cerita asal kami, datang di hari apa, akan kemana saja, dan di mana kami menginap. Also due my insensitivity, gue nggak ngeh kalo dia kodein gue (at least that’s what Asa thought) dengan bilang kali malam nanti tidak ada acara kantor yang mengekangnya. Obrolan kami terhenti karena pertunjukan dimulai jam 18.00.

Pertunjukan kecak menurut gue seperti akapela dengan bumbu tradisional. Pelakon dari pertunjukan tersebut menari dengan iringan irama yang dibuat oleh para penari kecak. Cerita yang dipertunjukan sendiri adalah tentang Rama dan Sinta. Kalau nggak baca kertas panduan acara sih gue nggak akan ngeh.

Ada dua highlight yang paling berkesan menurut gue. Pertama keintiman Rama-Sinta yang berhasil diantarkan sama penari-penarinya. Padahal keduanya sama-sama wanita dan hanya ditunjukan oleh tarian! Kedua adalah Sang Hanoman. Damn. He is such a show stealer. Dia berhasil mengocok perut para penonton yang hadir dengan tingkahnya yang kocak. Melompat ke sana kemari sembari mengisengi penonton yang hari itu sedang sial. Overall, my 100K was well spent.

Looking back to that moment, the only regret I have that day was moving away from the man that I talked before the show without telling him. Sebenarnya kan gue pindah bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin dapat tempat yang lebih bagus untuk menonton. But he seemed to get the wrong idea and decided not to say anything after the show. Penyesalan yang bikin gue kepikiran di hari-hari berikutnya.

I hate myself that I keep missing chances.

Anyway, back to the trip. Kunjungan singkat kami ke Uluwatu bikin koleksi foto kami sedikit di sana, tapi ya sudahlah ya. Yang penting sudah meninggalkan jejak kunjungan. Setelah pertunjukan rampung kami langsung berangkat ke Jimbaran untuk makan malam. Tempat yang kata orang sih mahal dan overrated, tapi sekali-kali nggak apa-apalah hambur-hamburin uang di sana mengingat kunjungan terakhir gue ke sana mikir untuk makan yang murah aja lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget.

Jukung Bali Seafood masih menjadi destinasi favorit gue, dan Asa percaya aja kalau kata gue enak. Karena pas kami datang sedang gerimis, kami nggak bisa memesan tempat duduk di luar di bibir pantai. Sayang sih, but we had no power to defy nature. Kami tetap pilih tempat duduk yang menghadap ke pantai akhirnya. Kami memesan paket seafood dan menghabiskan kurang lebih 800ribu in total dengan memesan udang, cumi-cumi, dan ikan beserta teman-teman pendampingnya. The most expensive meal we have ordered in our lives. Alhamdulillah kekenyangan. XD

Selesai makan, kami istirahat sejenak karena perut masih penuh. Lalu membereskan pembayaran dan keluar untuk berfoto di pinggir pantainya. Mungkin karena itu Malam Minggu, banyak pasangan yang makan malam romantis lengkap dengan lilin dan bunga di tengah meja. Ada juga pasangan yang strolling di pinggir pantai dan dengan cueknya showing PDA (public display of affection). Yah kami sih cuma bisa kalem dan dengki aja.

Pulang ke hotel dengan kenyang, kami dibuat bengong dan syok dengan ramainya jalanan dekat hotel kami. Suara musik saling bersahutan dari pub dan bar yang bersebelahan dan berhadapan seolah mereka bersaing untuk menarik pengunjung. Beberapa pramusaji berejer dengan pakaian ‘kerja’-nya menawarkan berbagai promo. Belum lagi salah satu tempat dengan panggung lengkap dengan para penari striptease dan tiang yang hanya biasa kami lihat di film-film terpampang nyata di depan mata kami. You should’ve seen the look on our faces. Dua orang muslimah berjilbab yang terjebak di tengah kerumunan orang-orang yang hendak berbuat maksiat. XD Kami sempat berfikir kalau kami tuh salah pilih tempat penginapan. Bukan hotelnya sih, melainkan areanya. I hadn’t had the faintest idea about Legian before. I guess I should’ve researched more. Untungnya hotel kami tidak berada tepat di pinggir jalan dan bersebelahan dengan tempat hiburan, jadi kami masih bisa beristirahat tanpa diganggu suara-suara sana.

PS:

To the man whom I met during Kecak Dance in Uluwatu on Saturday (24 February 2018), It was nice meeting you. You have left me a good impression that I find it hard to forget. I am sorry I didn’t treat you the way you did to me. I can’t even remember your name which I feel guilty about all the time. I really wish we could cross paths again someday so I can make everything up.

Sincerely

The girl whom you said hi to

 

One thought on “Bali Trip 2018 – Pantai Pandawa, Uluwatu, Jimbaran

  1. Akses ke lokasi cukup mudah. Papan penunjuk jalan tersedia di berbagai tempat. Topografi juga tidak terlalu susah. Pemandangan pantai batugamping khas formasi Bali Selatan absolutely stunning and amazing. Air laut biru hingga biru tosca, ombak yang tidak terlalu kencang. cocok untuk dijadikan destinasi wisata keluarga. Pas kesini juga lagi ada olahraga paralayang. keren

Leave a comment